Marley And Me

Marley And Me Marley And Me

Crank:High Voltage

Crank:High Voltage Crank:High Voltage

WATCHMEN - The Movie

WATCHMEN - The Movie WATCHMEN - The Movie

Bedtime Stories

Bedtime Stories Bedtime Stories
Latest News

Kenapa Syekh Puji?

Posted by Catur Ratna Wulandari on Thursday, July 23, 2009 , under | komentar (0)



Kamis, 23 Juli 2009 02.15 WIB
Sedang menonton Reportase Malam Trans TV soal visum Lutfiana Ulfa, istri muda Syekh Puji


Aku tidak paham, kenapa polisi getol mengusut kasus Syekh Puji yang menikahi bocah di bawah umur. Padahal kasus serupa juga banyak terjadi di daerah lain. Tapi toh reaksinya tidak serupa. Di Madura ada kakek yang dengan bangga memperkenalkan 10 istrinya. Sebagian juga dinikahi saat masih kanak-kanak. Meski sudah diekspos media, toh polisi tidak lantas mengusutnya. Ya barangkali sudah terlanjur, jadi hoream mau mengusut.

Parahnya, kasus Syekh Puji lebih kental mengupas sensasi miliuner nyentrik itu ketimbang menjelentrehkan kenapa kasus ini dianggap penting untuk dituntaskan. Seingat saya, hanya Kompas yang tidak tertarik dengan berbagai sensasi yang dibuat Syekh Puji.

Aku juga tidak paham apa yang dibela dari kasus ini. Toh Lutfiana Ulfa, istri belia Syekh Puji sepertinya tak menginginkan pembelaan itu. Dia mengaku bahagia dan mencintai laki-laki yang usianya lebih tua dari usia bapaknya sendiri.

Jika memang benar demikian, maka urusannya hati. Hukum tidak akan cukup bisa menghentikan rasa cinta yang memang bisa menyerang siapa saja, tanpa memandang usia. Hemat saya, biarkan saja! Toh suka sama suka...

Kalau ada yang perlu diusut, menurut saya, jika ada unsur penipuan pada saat proses pernikahan itu. Misalnya pemalsuan surat nikahnya, pemalsuan umur dsb. Tapi pernikahan itu katanya hanya nikah siri. Lalu apa yang dipersoalkan?

Ah kalau saya, saya justru ingin tahu motif pemilihan gadis cilik itu menerima pinangan sang saudagar itu. Menurut tayangan salah satu tv swasta, proses pemilihan istri muda itu dilakukan melalui audisi. Kesimpulan saya, berarti hubungan itu tidak alamiah. Meskipun bisa saja rasa suka itu sudah tumbuh sebelum audisi.

Waktu SD, saya lebih asik main sepeda atau main petak umpet dari pada berpikir menikah. Tapi kenapa justru Ulfa punya keberanian memutuskan untuk menikah? Keberanian itu bahkan baru menghampiri saya sekitar setahun belakangan. Ko bisa?

Apa mungkin karena harta kekayaan Syekh Puji yang membuat tak kuasa menolak tawaran itu? Kalau melihat gaya hidup modern yang semakin konsumtif, bisa jadi memberikan kenginan-keinginan tertentu. Ingin punya hp, ingin naik mobil bagus, beli mainan banyak, pakai baju bagus dsb. Barangkali untuk membuktikannya perlu studi panjang, tentang latar belakang kehidupan keluarga dan masyarakatnya. Kalau membuat liputan semacam ini, wah bisa nggak keburu nih sama dedlen, dewa yg ditakuti jurnalis di jagad raya ini.

Tapi barangkali, perlu ada sebuah misi dibalik pemberitaan. Tidak sekedar melaporkan. Karena justru beritanya berasa hambar, seperti tidak ada ruh yang membuatnya bernyawa. Akhirnya cukup saja dengan berita sensasional itu... Tidak peduli apakah setelah ini masyarakat akan lebih pintar atau tidak. Toh berita apapun yang dibuat akan tetap ditonton bukan?!

Jalan Ke Sana

Posted by Catur Ratna Wulandari on Monday, July 20, 2009 , under | komentar (2)



"Dear Friends, kmrn lamaranku :-). Feels funnya.he2. Hari H nya insyaAllah 5 Desember malem ya, di Taman Indie, Araya. Please do take time to come kalo nggak sibuk :-)"

Dua jam lalu, saya menerimu SMS itu dari sahabat waktu SMA.
Merinding...
Entah kenapa, setiap kali menerima kabar pernikahan... ada yang berdesir aneh... ada ketakutan yang menyergap tiba-tiba...

Sebelum ini, saya dan sahabat saya itu sering berbincang tentang banyak hal. Tentang cita-cita, karir, sosial, politik, ah semuanya.. termasuk urusan cinta-cintaan.

Dulu, kami membicarakan laki-laki sambil tertawa-tawa...
Seringkali menertawakan cara-cara bodoh lelaki demi mendapatkan pacar.
Beranjak dewasa...
Kami masih juga sering menertawakan laki-laki. Waktu itu, kami sering menertawakan kebodohan berpikir mereka...

Waktu berjalan...
Usia kami tak lagi belasan.
Dua dasawarsa lebih, kata orang sudah siap menikah.
Saat itu pun, kami masih sempat tertawa kecil... melihat teman-teman yang tergesa-gesa ingin menikah.
Melihat ibu-ibu kami yang mulai menanyakan soal pasangan hidup...
Toh kami masih bisa menanggapi dengan tertawa...

"Suatu saat kita akan sampai di sana," kata sahabat saya setiap kali kami membicarakan teman yang baru saja menikah.

Ternyata dia yang sampai di sana terlebih dahulu...
Dia berhasil menemukan jalan dan melewatinya dengan selamat.

Tiba-tiba aku tercekat...
Aku tidak bisa tertawa lagi...
Bahkan sebuah tawa kecil tak lagi bisa kulakukan...

Tentu saja aku berbahagia untukmu kawan...
Segala doa terbaik kupanjatkan untukmu.
Meski setelah ini tak bisa lagi kita menertawai banyak hal lagi...

Aku siap berlari untuk sampai ke sana. Tapi belum kutemukan jalan untuk menuju ke sana...
Dengan semua niat baik dan semua perbedaan ini...
Apakah aku akan sampai ke sana?
YA! Aku akan sampai ke sana...

Teror itu datang lagi...

Posted by Catur Ratna Wulandari on , under | komentar (0)



Media mulai mencoba merekonstruksi peristiwa yang meluluhlantakkan JW Marriot dan Ritz Carlton Hotel Jakarta. Sebagian menuding ini masih kelompok yang sama dengan ledakan-ledakan bom sebelumnya.

Hemh...
Pelaku yang sudah-sudah mengaku semua itu lantaran berjihad.
Aaaaahhhh aku ngilu mendengarnya...
Apa Allah menginginkan dibela dengan cara ini?
Apa Allah meridoi cara-cara itu?

Menurutku tidak...
Tuhan tidak butuh dibela semacam itu...
Ia Maha Besar, Maha Segala-galanya...
Tidak perlu ada pembelaan semacam itu...

Seharusnya mereka tahu,
mereka membunuh saudaranya sendiri.

Saya teringat diskusi dengan seseorang, "Begitulah jika agama dipahami sebagai sesuatu yang normatif," katanya.

Seharusnya kita mengenali Tuhan dengan baik...
Bukan sekedar soal dosa dan pahala, surga dan neraka, haram atau halal.
Begitulah semua perilaku didasarkan...
Padahal, Tuhan akan sangat marah ketika kita tidak berbuat baik pada sesama...

Kalau beragama menimbulkan kebencian, lalu?

Kelom Geulis “Keng”, Tenggelamnya Sang Primadona

Posted by Catur Ratna Wulandari on Tuesday, May 19, 2009 , under | komentar (2)



Bukan celana jins ketat atau baju minim yang menjadi resep pesona mojang Bandung tempo dulu. Pada banyak kesempatan, mojang Bandung seringkali mengenakan kain wiron yang dipadu dengan baju kebaya lengkap dengan kelom geulisnya. Di jalanan Kota Bandung, para lelaki saat itu banyak yang terpikat melihat dandanan anggun macam itu. Membuat mereka semakin penasaran melihat paras ayu yang tersembunyi di balik payung kertas buatan Tasik yang berwarna-warni tak kalah cantik dengan si empunya.

Itu dulu, sekitar dekade ‘60-an. Sekarang sudah jadi pakaian langka. Paling-paling hanya dipakai waktu peringatan Hari Kartini atau acara-acara tertentu saja. Mojang Bandung sekarang tentu lebih akrab dengan celana jins daripada kain. Kain identik dengan pakaian yang membatasi gerak.

Begitupun dengan kelom geulis. Masa keemasannya telah berlalu, digantikan dengan sandal plastik atau kulit imitasi yang membanjiri pasaran. Selera pasar perlahan menenggelamkan kelom geulis yang konon berasal dari Tasikmalaya itu.
Namun, jika masih ada yang penasaran atau ingin mencoba mengenakan kelom geulis, datang saja ke Jln. Cihampelas no 205. Bangunan lawas nan sederhana itu seringkali terlewatkan. Maklum, letaknya berada di salah satu kawasan belanja yang populer di kota kembang yang selalu padat dikunjungi wisatawan. Sayangnya, keramaian Cihampelas hanya dipandang sebagai pusat jins dan pakaian jadi buatan Bandung. Padahal di kawasan itu terdapat, warisan budaya yang barangkali tinggal satu-satunya. Kelom geulis “Keng”.

Jumat sore, Bandung sudah mulai padat. Keramaian selalu menyergap di akhir pekan. Tapi, pelataran parkir Kelom Geulis “Keng” tetap sepi. Tidak ada mobil ataupun sepeda motor yang diparkir di sana.

Memasuki bangunan itu, terdapat etalase kaca yang membagi dua ruang toko itu. Menjadi pembatas antara penjual dan pembeli. Separuh dinding di ruangan itu dipasangi rak kayu. Selain di etalase kaca tadi, di rak itu dipajang bermacam-macam kelom geulis “Keng” yang legendaris itu.

Di satu sisi lain, dindingnya dipasangi kaca berukuran besar. Barangkali, pada saat kelom geulis menjadi tren, sudah ratusan bahkan ribuan orang yang mematut diri di depan kaca itu. Mencari kelom geulis “Keng” yang cocok untuk dirinya.
***
Seorang lelaki berbadan tegap keluar dari ruangan lain. Langkahnya pelan. Ia mendekat sambil mengulas senyum. “Yah sekarang asal ada saja. Meskipun sulit, tapi mencoba terus bertahan, jangan sampai kelom geulis ini hilang,” tuturnya.
Nama lelaki itu Yamin Teramurni. Kini usianya 61 tahun. Ia adalah generasi ketiga kelom geulis “Keng”. Usaha ini ia warisi dari sang kakek, Thio Keng Siang yang asal Tasikmalaya.

Menurut Yamin, kakeknya berasal dari golongan Kongku. Yaitu golongan orang Tionghoa yang dipercaya berbakat di bidang perkayuan. Sehingga bisnis yang menggunakan elemen kayu akan membawa keuntungan.
Pada tahun 1942, Keng pindah ke Bandung. Membuka toko kelom geulis di daerah pecinan, tidak jauh dari Toko Kopi Aroma. Selain sebagai toko, di sana juga digunakan untuk tempat berproduksi. Tak tanggung-tanggung, perajin kelom geulisnya mencapai seratus orang. Konon, saking banyaknya permintaan, proses produksi juga dilakukan di Tasikmalaya.

Kelom berasal dari kata kelompen, bahasa Belanda yang berarti sandal kayu. Embel-embel geulis di belakangnya karena kelom ini dihiasi dengan ukiran cantik yang menjadi ciri khasnya. Kebanyakan ukirannya bergambar bunga. Sebagian dicat warna-warni. Tapi ada pula yang diwarna coklat, tidak jauh dari warna asli kayu yang menjadi bahan dasarnya.

Karena perajinnya adalah seorang Tionghoa, maka tidak bisa lepas dari kebudayaan asalnya. Pada mulanya ukiran pada kelom itu banyak mengadopsi kebudayaan Tionghoa. Misalnya dengan memasang ukiran bergambar liong (naga) atau juga bentuk-bentuk yang kerap ditemukan pada ornamen klenteng.

Sedangkan talinya digunakan berbagai macam bahan dan aplikasinya. Seperti bludru yang diaplikasi dengan payet. Ada juga yang terbuat dari kulit. “Tapi apapun bahannya, selalu di dalamnya diselipkan kulit,” ujar Yamin.

Kelomnya sendiri terbuat dari kayu mahoni. Dulu yang digunakan kayu abasia. Tapi sekarang mencari abasia terbilang sulit. Apalgi yang berumur tua. Baru berumur enam tahun sudah ditebangi untuk keperluan industri dan sebagainya. Padahal, untuk membuat kelom sebaiknya kayu tua.

Kayu-kayu juga banyak yang diekspor, sehingga harga di dalam negeri menjadi melambung. Akhirnya, bahan diganti dengan kayu mahoni.
Daya tarik kelom ini bukan hanya bentuknya yang cantik, tetapi juga kenyamanannya. Bahan kayu membuat kaki tidak panas. Bahkan kaki yang pecah-pecah bisa sembuh dengan menggunakan alas kaki kayu ini.

Jaman dulu, pengusaha kelom geulis di Kota Bandung cukup banyak. Setidaknya terdapat tiga toko yang terkenal dengan kelom geulisnya, yaitu Toko Swan, Toko Kabinangkitan dan Keng. Hanya Keng yang hingga hari ini masih buka.

Menurut Yamin, kelom buatan Keng terkenal dengan kualitasnya yang bagus, pembuatannya halus. “Pembeli dijamin puas,” ujar Yamin. Tak heran kalau pada masa kejayaannya, kelom buatan Keng begitu digandrungi. Apalagi, pembeli bisa memilih model ukiran dan tali sesuka hati. Tinggal dipasang saja. Pembeli bisa menunggunya.
***
Kini kelom geulis sudah tidak lagi menjadi primadona. Pembelinya sekarang tinggal orang-orang tua yang sudah terbiasa memakai kelom sejak dulu. Sangat sedikit, bahkan nyaris tidak ada anak muda yang menggunakannya.

Yamin sendiri serba susah. Mau berpromosi, tak ada daya. Yang bisa ia lakukan adalah menjajakan kelom yang saat ini sudah ada. Ia tak lagi berproduksi. Tak ada satu karyawan pun yang membantunya.

Ia juga belum tahu pada siapa usaha itu akan diwariskan. Kedua anaknya kini masih menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi. “Ya harapannya anak saya bisa meneruskan. Kalau lihat sekolahnya di desain, ya semoga nanti bisa membuat model-model baru untuk mengembangkannya,” ujarnya.

Meski gurat-gurat usia mulai memenuhi wajahnya, Yamin bertekad tetap melanjutkan warisan keluarganya. Senyumnya selalu mengembang tat kala pembeli datang, meski pada akhirnya pergi tanpa membeli kelomnya. Ia masih menyimpan harap, suatu saat kelom geulis akan berjaya kembali. (Catur Ratna Wulandari/”PR”)***

*Artikel ini pernah diterbitkan di Harian Pikiran Rakyat

Terus Ke Mana?

Posted by Catur Ratna Wulandari on , under | komentar (0)



“Yang namanya Terusan harusnya ya tidak jauh-jauh dari jalan induknya. Ternyata saya salah. Yang namanya Terusan Karang Tineung tidak seperti Terusan Pasteur yang meneruskan Jalan Pasteur atau Terusan Pasir Koja yang melanjutkan Pasir Koja. Terusan Karang Tineung menurut saya lebih tepat sebagai terusan Jalan Suka-Mulya-Sebelah-Sanaan-Setra Sari-dan Sebelah-Sanaan-lagi-Cipedes Tengah-dan-Tidak-Terlalu-Jauh-Dari-Paris-Van-Java-ternyata. Ya memang sih daerah situ-situ juga, paling tidak mungkin satu kecamatan lah. Tapi kalau disebut terusan, ya nyambungnya dari mana? ujung-ujung jalan tersebut kan tidak ketemuan dengan Jalan Karang Tineung. Sudah gitu rumah-rumahnya nomornya tidak urutan pula. Untung rumahnya gede-gede”
Demikian tulis seorang blogger yang menceritakan pengalamannya tersesat saat mencari Jalan Terusan Karang Tineung. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang mempunyai cukup banyak nama jalan yang menggunakan “Terusan”, misalnya saja Jln. Terusan Jakarta, Jln. Terusan Buah Batu, Jln. Terusan Ciliwung, Jln. Terusan Pasir Koja dan sebagainya.
Penggunaan istilah “Terusan” itu berarti jalan tersebut meneruskan jalan sebelumnya. “Jalan itu tidak punya nama, hanya meneruskan jalan yang sebelumnya,” ujar penulis sekaligus kolektor buku Sudarsono Katam, saat ditemui di kediamannya, Jln. Tanjung Kota Bandung, Kamis (29/1).
Ia menjelaskan, jalan-jalan yang menggunakan nama terusan merupakan jalan-jalan baru. Sekitar tahun 1970 banyak dibangun jalan-jalan baru yang bersambung dengan jalan-jalan yang sudah lama. “Masyarakat menyebutnya dengan terusan karena memang meneruskan jalan yang sudah ada. Jadi dia tidak punya nama sendiri,” katanya.
Rupanya meneruskan jalan yang sudah ada menjadi populer. Lebih praktis memang, karena tinggal meneruskan saja. Tapi seiring perkembangan tata kota yang semakin berkembang, jalan semakin panjang. Jalan terusannnya bisa lebih panjang dari jalan induknya. Tidak heran kalau ada anekdot Jalan Terusan Jakarta adalah jalan terpanjang di Kota Bandung karena terusannya saja sudah sedemikian panjang apalagi jalan induknya. Mengapa jalan-jalan tersebut tidak diberi nama sendiri saja?
Planolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Iwan Kustiwan mengatakan, penggunaan terusan sebenarnya tidak menjadi masalah selama memang digunakan untuk meneruskan jalan utama. Namun menjadi persoalan ketika penggunaan terusan justru membuat bingung dan menyulitkan. Apalagi jika jalan terusan ini sangat panjang. “Sebaiknya diberi nama saja, sebab kalau tidak fungsi jalan sebagai penanda akan hilang,” ujarnya.
***
Selain jalan yang tidak bernama, di Kota Bandung juga banyak ditemukan rumah tanpa nomor. Misalnya saja Jalan Kopo nomor 191 belakang. Maksudnya, letak rumah tersebut berada di belakang bangunan nomor 191.
Sudarsono menjelaskan, kesemrawutan nomor rumah sudah terjadi sudah lama. Dahulu, bangunan rumah tidak dibangun bersama-sama. Sehingga penomoran menjadi kacau ketika ada bangunan baru yang muncul di antara bangunan lama yang sudah mempunyai nomor urut. “Tapi itu dulu, sekarang sih sudah lebih rapi. Kalau di pinggir jalan sudah tidak ada nomor yang tidak urut,” katanya.
Lahirnya nomor rumah yang menggunakan istilah “belakang”, menurut Sudarsono, disebabkan karena adanya peningkatan kebutuhan berkomunikasi, utamanya melalui surat. “Jadi untuk memudahkan orang mencapai rumah itu akhirnya ada nomor belakang,” katanya.
Ada juga alamat rumah yang di belakang nomor ditambahi pav atau paviliun. Biasanya digunakan untuk rumah yang terbagi menjadi dua bagian dengan kepemilikan yang berbeda. Sehingga untuk membedakan diberilah tambahan paviliun di belakangnya.
Penomoran rumah yang tidak rapi itu membuat petugas pengantar surat kesulitan. “Cukup menyulitkan kami. Misalnya di Jalan Lingkar Selatan dan Soekarno Hatta. Nomornya ada yang tidak urut. Beberapa jalan juga ada nomor yang dobel. Tapi karena kebiasaan, lama-kelamaan petugas kami jadi hapal,” kata Ahyadi Kosasih, Kepala Bagian Antaran Mail Processing Centre Bandung PT Pos Indonesia.
Menurut Iwan, pengaturan nomor sebaiknya dilakukan sejak awal ketika dikembangkan sebuah kawasan baru. Sehingga sejak awal sudah ada sistem penamaan jalan, penomoran yang lengkap dan sistematis.
“Seringkali penamaan jalan di kawasan baru ketika diintegrasikan dengan jalan yang sudah ada menjadi persoalan karena tidak sesuai. Oleh karenanya dari awal memang harus sudah dipikirkan benar masalah penamaan dan penomoran itu,” tuturnya.
Iwan berpendapat kesemrawutan ini masih bisa dibenahi. Seperti halnya pengaturan jalan yang pernah dilakukan di Arcamanik dan Margahayu yang merubah sistem blok menjadi nama jalan. “Untuk merapikan penomoran, mestinya pemerintah bisa melakukannya secara berkala. Pemerintah bisa memanfaatkan kegiatan sensus penduduk yang dilakukan setiap sepuluh tahun sekali itu,” tuturnya.
Ia menambahkan, penomoran yang rapi akan menguntungkan pemerintah pula. Misalnya dalam hal pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Perhitungannya akan lebih pasti karena persil rumahnya sesuai dengan yang alamat yang tertera.
Sementara itu, Sudarsono Katam mengusulkan agar pemerintah memberi batasan kepada para pengembang perumahan agar tidak memberi nama jalan dengan nama sembarangan. “Banyak pengembang yang memberi nama jalan sesuai dengan nama pengembangnya. Itu jangan boleh. Nama jalan harus diatur, sehingga dia tetap punya zonasi,” katanya. (Catur Ratna Wulandari/”PR”)***

*Artikel ini pernah diterbitkan di Harian Pikiran Rakyat

Saat Cinta Mempertemukan Jefry dan Nancy

Posted by Catur Ratna Wulandari on , under | komentar (0)



Pasangan yang sedang dimabuk asmara itu duduk berdampingan. Sesekali saling pandang lalu berpelukan. Beberapa saat kemudian mereka berayun bersama. Owa Jawa berusia sepuluh tahun itu, mulanya tidak saling kenal. Masing-masing terpenjara dalam keegoisan manusia yang mengurungnya di kandang. Setelah berkumpul selama dua tahun, keduanya salingjatuh cinta. Sejak 2006 mereka resmi berpasangan. Kini, keduanya telah menjadi teman hidup yang siap dilepaskan kembali ke habitatnya.
Perjodohan antara Jefry dan Nancy bermula ketika keduanya diserahkan ke Javan Gibbon Centre (JGC), sebuah pusat penyelamatan dan rehabilitasi Owa Jawa yang berkedudukan di Bodogol, Kab. Bogor, bagian dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Jefry sebelumnya dipelihara oleh seseorang di Jakarta. Pada 2003, ia diserahkan pemiliknya ke JGC untuk direhabilitasi. Setahun kemudian, Nancy yang dipelihara oleh keluarga yang berlokasi di Depok turut diserahkan ke JGC.
Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan kondisi fisik, kesehatan, dan perilaku Owa Jawa bekas peliharaan. Saat ini JGC menampung 27 Owa Jawa (14 betina dan 13 jantan) hasil sitaan dan serahan sukarela dari masyarakat.
Selain memulihkan kesehatan dan perilaku, Owa Jawa juga melalui proses perjodohan pada saat rehabilitasi. Owa Jawa yang hidup di alam sebenarnya memiliki kemampuan alami untuk mencari pasangan hidup. Namun bagi Owa Jawa yang sejak kecil dipelihara manusia, mereka kehilangan kemampuan itu. Sehingga untuk mendapatkan pasangan, mereka harus melalui proses perjodohan. “Melepas Owa Jawa ke alam harus berpasangan. Itu hukumnya wajib. Itu yang membedakan Owa Jawa dengan primata yang lain. Jenis lain bisa hidup sendiri di alam, tapi tidak dengan Owa Jawa. Mereka hidup berkeluarga, suami istri dengan dua atau tiga anak,” tutur Anton Ario, manajer JGC.
Menurut Anton, melepas Owa Jawa ke alam tanpa pasangannya sama dengan tidak bertanggung jawab. Ia tidak akan bertahan hidup tanpa pasangannya. Owa Jawa menganut monogami, tidak mudah menemukan dan berganti pasangan. Jika ia dilepas tanpa pasangan, ia juga tidak akan sanggup bereproduksi.
“Menjodohkan Owa itu tantangan tersendiri. Mereka yang hidup sebagai hewan peliharaan biasanya tidak mengenal lawan jenis. Jadi cukup sulit memasangkannya. Ada yang butuh waktu cepat, ada yang butuh waktu sangat lama,” tutur Anton, sang mak comblang. Jefry dan Nancy butuh waktu dua tahun untuk bisa menjadi pasangan. Tapi ada juga yang butuh waktu seminggu.
Tak ubahnya seperti manusia, perjodohan hanya bisa terjadi jika ada kecocokan dan ketertarikan. Karakter masing-masing sangat mempengaruhi. Jika kecocokan itu bisa terjalin, tidak mustahil perjodohan itu bisa terjadi hanya dalam waktu satu minggu. “Seperti Charli dan Dina, seminggu sudah berjodoh. Karena Charli itu sifatnya cool, sedangkan si Dina ini tidak neko-neko. Jadi keduanya pas. Dina itu punya kebiasaan memakan rambutnya sendiri, itu membahayakan bagi kesehatannya. Maka saya pikir, dia harus segera dapat jodoh. Supaya dia punya kesibukan, dan menghentikan kebiasaannya itu. Jadi tepat kalau dia berjodoh dengan Charli,” tutur Anton.
Mengenali sifat dan karakter masing-masing Owa Jawa yang dirawat merupakan keharusan bagi Anton dan empat orang perawat hewan (keeper). Pengenalan penting untuk menentukan pasangan bagi Owa Jawa.
***
Proses perjodohan Jefry dan Nancy diawali dengan proses perkenalan yang berlangsung dalam sebuah kandang. Namun keduanya dipisahkan oleh dua sekat kawat yang membentuk lorong. Untuk mengetahui apakah keduanya mempunyai ketertarikan, maka salah satu sekat itu dibuka sehingga keduanya bisa saling mendekat.
“Mendekat itu belum tentu saling suka juga. Bisa juga benci. Biasanya kalau benci mereka saling serang, menunjukkan kemarahan. Kalau begitu, harus berpikir ulang. Biasanya dengan mengganti pasangannya. Tapi kalau suka, biasanya jari-jemari mereka saling bersentuhan walaupun masih ada satu sekat yang memisahkan,” tutur Anton.
Setelah benih-benih ketertarikan itu tercipta, maka sekat kedua dilepaskan. Maka akan tampak jelas keduanya tengah jatuh cinta. Satu sama lain mengungkapkan perasaannya. Peluk dan cium tak henti-hentinya dilakukan. “Seperti telenovela rasanya, tapi memang begitulah Owa Jawa,” ujar Anton. Ia mengaku tahap perjodohan inilah yang paling sulit dalam seluruh proses rehabilitasi. Dari 27 Owa Jawa, sudah terbentuk 8 pasang, sisanya masih jomblo. Hal ini disebabkan kurangnya pejantan.
Perjodohan pun diusahakan memperhatikan kondisi fisik masing-masing. Misalnya, Owa yang sudah kehilangan taring diusahakan berpasangan dengan yang masih normal. Agar saat dilepas ke alam keduanya masih saling melindungi. “Tapi kalau mereka sudah cocok, meskipun sama-sama tidak punya taring, ya tidak apa-apa. Yang penting mereka sudah cocok,” ujarnya.
Setelah resmi berpasangan, mereka pun melalui hari-harinya bersama-sama. Meski tak terucap dalam bahasa manusia, keduanya berjanji setia. Tidak ada kata mendua dalam kamus Owa Jawa.
***
Setelah kondisi mereka sehat, perilaku sudah sesuai dengan yang diharapkan, dan telah memiliki pasangan, maka mereka siap dilepaskan. Setelah dilepaskan, mereka akan membentuk teritori (semacam daerah kekuasaan) bersama pasangannya.
“Selain menyiapkan Owa nya, juga harus menyiapkan tempat pelepasannya,” ujar Anton. Tempat pelepasan itu harus aman dari perburuan, selain juga memiliki ketersediaan vegetasi yang cukup sebagai makanan bagi mereka. Maka itu, hutan konservasi seperti taman nasional adalah lokasi yang tepat. Diperkirakan pertengahan tahun ini, Owa Jawa yang telah berpasangan akan diuji coba untuk dilepas ke alam.
Setelah dilepas, bukan berarti tanggung jawab telah selesai. Anton mengingatkan pentingnya pemantauan. Pemantauan itu bisa dilakukan melalui berbagai studi mengenai kondisi Owa Jawa pasca pelepasan.
Jefry dan Nancy kini sedang menanti. Menanti babak baru dalam hidup mereka. Menghadapi alam bebas yang menyimpan berbagai ancaman. Di sana mereka menaruh harapan. Harapan untuk melahirkan Jefry dan Nancy kecil. Tugas kita untuk menciptakan rumah yang aman bagi mereka di alam ini. Mencintai mereka tidak berarti harus memiliki. (Catur Ratna Wulandari/”PR”)***

*Artikel ini sudah pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat

Jihad?

Posted by Catur Ratna Wulandari on Sunday, November 23, 2008 , under | komentar (2)



Saya seorang muslim. Bukan muhamadiyah, bukan nahdatul ulama, juga bukan tarbiyah. Ada berapa banyak aliran di agama Islam, aku juga tidak tahu. Saya Islam, itu saja.

Menjelang eksekusi Amrozi, saya ditugaskan meliput keluarga Amrozi di Desa Tenggulun Kec. Solokuro Kab. Lamiongan Jawa Timur. Redaktur mengirim saya karena kemampuan saya berbahasa Jawa dan asal saya tidak begitu jauh dari Lamongan. Singkat kata, sampailah saya di Lamongan bersama seorang fotografer dan seorang wartawan senior dari Biro Jogja.

Tenggulun itu jauuuuhhhh... sekitar 7 km di sebelah utara Tanjung Kodok. Sampai di sana, ternyata rumah Amrozi sudah dikepung wartawan. Media cetak dan elektronik dari penjuru Indonesia dan dunia sudah tuplek bleg di desa yang biasanya sepi itu. Beberapa menyewa rumah penduduk untuk memudahkan operasional. Sebagian lagi menginap di hotel yang letaknya di sekitar Tanjung Kodok atau di Lamongan kota. Aku, menggunakan dua-duanya. Rumah penduduk ada, penginapan juga.

Pencarian berita tidak sesulit yang kubayangkan. Karena banyak media, maka aku merasa tidak sendiri. Beberapa informasi kudapatkan dari mereka. Beberapa alumni sekolahku ada juga yang meliput di sana.

Semua media massa saat itu memberitakan rencana eksekusi Amrozi. Hampir semua tv swasta live di sekitar kediaman Amrozi. Sepenting itukah Amrozi? Oke, dia memang tokoh penting di balik pengeboman bom bali. Lalu? Wajar kan kalau dia di eksekusi, sebagaimana dikatakan putusan pengadilan.

Yang terjadi justru seolah-olah dia adalah pahlawan. Baiklah... bagi sebagian orang ini disebut jihad.

Aku masih tidak paham... apa ini yang namanya jihad? Membunuh ratusan orang yang tidak ia kenal. Terlepas dari benar atau tidak ia melakukan ini, putusan pengadilan menyatakan demikian. Diapun sudah mengakui.

Saat Amrozi, yang jelas-jelas mengatakan tidak takut mati dan menolak grasi itu akan dieksekusi, berbagai usaha mengulur jadwal eksekusi dilancarkan oleh kuasa hukumnya. Semua mata dunia terarah ke sana. Media seolah menciptakan perang, yang pro dan kontra eksekusi.

Bagiku, membunuh adalah kejahatan. Korban bom Bali bukan cuma warga asing, muslim juga banyak yang tewas. Lalu apa dosa orang-orang asing itu? Msalah keyakinan yang berseberangan itu urusan masing-masing dengan Tuhan-nya. Tidak perlu manusia menghakimi di dunia.

Aku tidak habis pikir, begitu mudah seseorang mengatai orang lain kafir. Jangankan ke orang yang beda agama. Sesama muslim juga ada yang dikatai kafir. Sudahlah, tak perlu kita menjadi wakil Tuhan di dunia ini.

Eksekusi Amrozi tidak ubahnya seperti eksekusi pelaku kejahatan lainnya. Heboh yang diciptakan media justru menggerakkan massa pada dua kutub, pro dan kontra. Kalau kemudian ada kekhawatiran munculnya kerusuhan menjelang dan pasca eksekusi, media juga harus bertanggung jawab. Apa yang disajikan sebetulnya turut menggerakkan massa.