Latest News

Kebangkitan Itu Kerja dan Penderitaan

Wednesday, May 21, 2008 , Posted by Catur Ratna Wulandari at 11:45 PM

Beberapa hari ini saya memutar otak...
Saya ingin menulis sesuatu tepat pada peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Sayangnya, meskipun saya sudah berpikir keras, satu kalimat pun tidak bisa saya tulis.

Saya membaca beberapa tulisan tentang Kebangkita Nasional, banyak yang bernada pesimis, karena bagi mereka setelah seratus tahun juga tidak bisa menciptakan banyak perubahan. Masih banyak yang tidak puas. Saya kurang suka tulisan macam itu, menurut saya itu tidak solutif.

Lalu, suatu malam, saya melanjutkan membaca buku Putu Wijaya yang berjudul GORO-GORO, sebuah kumpulan sketsa dalam tabloid Tokoh, suplemen Bali Post. Sampailah saya pada halaman yang berjudul “KEBANGKITAN”. Tulisan ini untuk memperingati 93 tahun Kebangkitan Nasional, dan saya rasa masih relevan sampai sekarang. Usai membacanya, saya bergumam, “Inilah makna kebangkitan”.

Maka, saya ingin membaginya kepada semua orang yang entah secara sengaja atau tdak mampir ke halaman saya. Berikut adalah penggalan tulisan Putu Wijaya tersebut.
--
“Kamu tahu, setelah 93 tahun menggembar-gemborkan kebangkitan, ternyata hasilnya hanya seperti sekarang ini. Semuanya pada musuhan. Semuanya mengaku paling bener. Tarik urat leher dan ngeyel-ngeyelan kita memang paling bisa. Tapi giliran membangun, memelihara negara, tidak ada yang mampu!,” gerutu Pak Amat kepada istrinya usai menghadiri upara peringatan Kebangkita Nasional.

Bu Amat tidak menjawab.
“Kamu kok diam saja!” bentak Amat kemudian. “Apa kamu tidak sadar bahwa negara kita sedang mengalami krisi? Pemimpin-pemimpin kita sedang berkelahi? Dan rakyat selalu kena kibul?”

Bu Amat menggeleng.
“Aku tidak tahu, Pak. Mungkin betul begitu. Soalnya koran, televisi, dan para tetangga juga mengatakan begitu. Entahlah. Aku tiap hari sibuk di dapur, tidak terlalu sempat melihat negara. Kalau mencoba juga, pasti susah. Negara itu kan besar sekali. Bukan satu dua tempat. Bukan satu dua orang. Susahlah.”

“Makanya aku kasih tahu sekarang ini. Kita ternyata tidak pernah bangkit. Ngomong saja tentang kebangkitan. Prakteknya tidur terus. Mata kita terpejam. Dibuka juga tidak kelihatan apa-apa, karena kita sudah terbiasa dalam kegelapan. Kita keenakan tidur dan mimpi, tahu. Kita bangsa yang bermimpi!”

Bu Amat mengangguk.
“Habis, buat apa bangun, kalau mimpi lagi enak-enaknya?”
“Itu dia!” bentak Amat. “Kita sudah kena sesirep, lebih suka mimpi daripada terbangun. Lebih senang tidak sadar daripada bangkit. Ini harus diberantas, kalu tidak kita akan musnah!”
Bu Amat tak menjawab.

“Tadi waktu Bapak pergi aku sudah tidur,” kata Bu Amat mengalihkan pembicaraan dengan halus. “Waktu tidur, aku bermimpi, Pak. Mimpinya bagus sekali. Aku seperti bisa terbang. Aku terbang. Wah sedap. Kelihatan pemandangan yang indah. Setelah lama terbang aku sampai di sebuah tempat yang makmur. Banyak bunga, banyak buah, banyak makanan. Juga banyak emas dan permata dan uang. Boleh ambil sepuas-puasnya, asal bisa membawa. Aku senang sekali. Aku mau bawa pulang semuanya, sebanyak-banyaknya. Tapi, sesudah sempat aku kumpulkan banyak, tiba-tiba aku dengar bunyi Bajaj di depan rumah. Aku ingat Bapak sedang pergi. Bapak tidak bawa kunci. Anak-anak tidur semua. Jadi, aku harus bangun. Bangun berarti aku kehilangan barang-barang itu semua. Tapi, kalau tidak bangun, Bapak tidak akan kebagian pintu. Dan kalau aku bangun, aku akan kembali ke rumah kita ini. Rumah tua yang WC-nya mampet tiap bulan. Bocor, banyak kecoak. Rumah yang berantakan karena anak-anak kita semuanya manja, tidak ada yang doyan menyapu dan mengepel. Kalau bangun, berarti aku juga akan ingat utang-utang kita pada tetangga. Uang untuk bayar sekolah anak-anak belum ada. Ada keluarga sakit keras di kampung. Wah, seribu macam soal akan ingat. Tapi, kalau tidak bangun, Bapak bisa tidur semalaman di luar rumah. Akhirnya aku bangun. Aku tinggalkan mimpi yang indah itu. Untunglah aku bangun, kalau tidak, Bapak yang sedang frustasi ini kan tambah stres. Ayo masuk Pak.”

Amat terpesona, tapi ia merasa sudah tersindir. Seperti orang yang kecewa Amat berdiri. Istrinya tidak mengerti apa yang tadi sudah diceritakannya.

“Ayo masuk, Pak. Aku sudah sediakan wedang jahe, biar anget.”
Amat terpaksa masuk ke dalam rumah. Begitu masuk, ternyata rumah berantakan. Rupa-rupanya anak-anaknya sore tadi membawa kawan-kawannya, pesta, lalu pergi begitu saja.
“Lihat, kalau aku tidak bangun, aku tidak akan tahu rumah kita yang berantakan, Pak. Padahal, besok kita kan giliran menyelenggarakan arisan. Tetangga pada datang. Masakkita sambut mereka dengan berantakan begini. Miskin boleh miskin, tapi jangan berantakan. Ayo Pak, minum wedang jahenya. Kalau sudah, bantu aku mengatur. Besok kita repot semua, tidak akan ada waktu!”

Amat tercengang. Ia menghirup jahe. Enak sekali. Sementara istrinya mulai bekerja menata kamar.

“Kalau tidak bangun tadi, pasti gule yang aku rebus untuk besok, kering dan hangus. Untung aku bangun, Pak. Untung aku bangkit dari tempat tidur dan melihat semua ketidakberesan ini. Kalau aku tidur, bagaimana aku bisa melihat rumah kacau begini? Kalau tidak melihat, ya pasti tidak akan diatur. Ya tidak?”

Amat tiba-tiba merasa malu.
“Maksudmu kebangkitan itu tidak berarti bim salabim sukses, tapi justru melek, melihat segala kekuarangan. Kebangkitan itu kerja dan penderitaan. Begitu?”

Istri Amat tersenyum.
“Apa begitu maksudku?” katanya membalikkan kata-kata.

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Post a Comment