Kemalasan Modern
Senin, 5 Mei 2008
11.15 pm
Suatu hari, ketika saya dan beberapa rekan sedang menunggu pertemuan antara pimpinan dewan dengan warga Saritem, salah satu dari kami, seorang mahasiswi yang sedang magang di radio melontarkan kalimat yang berani. Kurang lebih waktu itu dia bilang begini, “Aku nanti mau mencari suami yang kaya, yang bisa membiayai keperluanku. Setelah kuhitung-hitung, rata-rata sehari aku butuh Rp 50 ribu. Buat makan, jajan, jalan-jalan, ke salon. bla bla bla bla”.
Saya sebut itu, pernyataan yang berani. Karena sepertinya, kalimat itu juga ada di kepala beberapa orang, bahkan mungkin banyak orang. Tapi, tidak semua bisa mengungkapkannya. Ada yang malu-malu mengakui bahwa itulah yang diinginkan dari seorang pria.
Saya sendiri tidak tau pasti, apakah dia mengatakannya secara sadar. Apakah benar-benar itu yang diinginkannya, atau itu sekedar ungkapan yang menghibur kami, para kuli tinta, yang mulai kelelahan.
Saat itu, kami tertawa lebar mendengar apa yang dia ucapkan. Sebagian meledeknya habis-habisan. Aku pun ikut tertawa. Tapi dalam kepalaku ada tanda tanya besar. Benarkah ini yang ada di kepala seorang perempuan cantik dan terpelajar ini? Kira-kira ada berapa banyak yang sepemikiran dengannya?
Hemh...
Apa ini yang disebut orang dengan realistis?
Banyak nasehat yang bilang, bahwa menikah tidak hanya bermodal cinta. Inikah yang dimaksud?
Semoga tidak!
Ini lebih seperti sebuah potret kemalasan yang menjangkiti manusia modern belakangan. Semuanya ingin hidup enak tanpa peluh yang membasahi tubuh. Banyak yang ingin segera sampai di puncak tanpa mau melewati pendakian yang melelahkan. Mungkin karena banyak orang yang sudah lelah. Bosan dengan kelambanan.
Lihat saja, betapa semua yang menjanjikan “kecepatan” selalu digandrungi orang. Kontes-kontes yang berlabel “from zero to hero” atau “from nothing to something” menjamur di semua stasiun tv. Begitu banyak yang ingin sukses dengan instan!
Mau contoh yang lebih sederhana?
Saya yakin, Indofood telah meraup untung yang fantastis dari penjualan mie instannya. Apalagi kalau bukan karena orang memang sudah tidak mau repot.
Kembali ke persoalan paling atas, tentang “mencari suami kaya”. Tanpa bermaksud membenarkan atau menyalahkan. Tapi saya pikir, Ibu Kartini akan menangis di kuburnya ketika mendengar kalimat itu. Kartini dan banyak pejuang wanita lainnya mati-matian membuka kesempatan bagi perempuan untuk menjadi apapun yang dia mau. Memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Menyedihkan kalau pada akhirnya, perempuan tetap mencari tumpuan dari seorang lelaki kaya.
Jika memang tuntutan hidup saat ini begitu besar, hingga setiap hari harus mengeluarkan puluhan ribu untuk memenuhinya, seharusnya masing-masing orang terpacu untuk lebih bekerja keras. Memutar otak bagaimana dia bisa memenuhinya dengan usahanya sendiri tentunya. Tanpa harus mengandalkan orang lain, apalagi sekedar suami kaya yang menurut saya itu jauh lebih beresiko. Namanya juga suami istri, bukan suatu hubungan yang tak terceraikan.
Bukan berarti saya tidak percaya pada ikatan pernikahan. Justru karena saya sangat menghormati ikatan pernikahan. Tidak seharusnya pernikahan hanya dilandasi pada hitung-hitungan ekonomi saja.
Kalau saya bisa memilih, lebih memilih lelaki pintar. Karena saya yakin dengan kepintarannya, dia sanggup bertahan hidup.
Heh...
Saya hanya berharap, tidak semua kaum muda terjangkit kemalasan modern ini. Saya yakin masih ada orang yang menghargai proses. Memahami bahwa setiap pencapaian harus disertai sebuah usaha yang juga luar biasa. Saya yakin, saya baru bisa memaknai apa itu sukses setelah saya gagal.
Semangat!!!
Currently have 0 komentar: