Ketika Merah Putih Tak Lagi Berkibar
Friday, May 9, 2008
, Posted by Catur Ratna Wulandari at 3:59 AM
Sang Saka Merah Putih tak lagi berkibar di SDN 2 Cimarel. Betapa tidak, setelah bangunannya roboh diterpa angin dan gempa pada Agustus silam, murid-murid tidak lagi bisa mengadakan upacara bendera. Seluruh bangunan kelas roboh, tiang bendera ambruk. Kini yang tersisa adalah puing-puing bangunan. Bagaimanapun semangat murid-muridnya tak bisa dipadamkan. Di atas puing-puing reruntuhan, mereka tetap belajar.
“Sejak sekolah rusak sudah tidak pernah upacara lagi. Olah raga juga cuma main tali,” kata Dewi (11), siswa kelas 5. Bagi Dewi dan murid lainnya, yang terpenting adalah bisa tetap belajar di sekolah. “Sedih sekolahnya rusak, tapi kan harus tetap sekolah,” katanya.
Sekolah yang terletak di Kp. Babakan Jampang Desa Cibitung Kec. Rongga Kab. Bandung Barat ini pada awalnya adalah sekolah yang didirikan atas prakarsa masyarakat setempat. “Sekolah yang ada letaknya sangat jauh. Jadi masyarakat meminta didirikan sekolah,” tutur Kuswan (36), salah satu guru yang telah mengabdi selama 13 tahun di SDN 2 Cimarele.
“Saat kami camping memperingati Hari Pramuka, malamnya ada angin besar dan gempa yang menghancurkan sekolah kami,” kata Kuswan. Setelah kejadian itu, murid-murid tidak lagi dapat belajar di dalam kelas. Sebuah lapak seluas 5x20 meter yang terbuat dari kayu dan genteng seadanya menjadi ruang kelas yang baru.
Lima papan tulis dipasang berderet dengan jarak tidak lebih dari 1 meter. Papan tulis itulah yang menjadi batas antara kelas yang satu dan kelas yang lain. “Kelas 1 dan 2 bergantian. Pagi untuk kelas 1, mulai jam 10 baru untuk kelas 2,” kata Neneng, satu dari empat guru yang mengajar di sekolah ini.
Tak ada lantai marmer, tak ada dinding, atap seadanya. Jika hujan datang, atapnya tak sanggup menghalau air yang masuk melalui sela-sela genteng. Baju seragam dan buku pelajaran basah karenanya. “Tapi pelajaran tidak boleh berhenti, apapun keadaannya,” ujar Kuswan. Keadaan ini pula yang membuat siswa lebih nyaman memakai sandal jepit dibandingkan sepatu. “Kalau hujan repot,” kata Neneng.
Sekolah Sejauh mata memandang terlihat perbukitan yang terhampar. Tidak mudah menjangkau sekolah ini. “Tiap hari saya jalan kaki. Ya sekitar 1,5 jam perjalanan,” tutur Kuswan.
Jalanan yang menanjak, berbatu, dan licin tak menyurutkan tekad para guru dan murid untuk berangkat ke sekolah. “Saya senang sekolah. Berangkat pagi-pagi, sambil main-main sama teman-teman,” kata Heri (11), siswa kelas 5.
Kuswan yang belum genap setahun diangkat menjadi CPNS (Calin Pegawai Negeri Sipil) ini menekankan pada murid-muridnya agar selalu mengedepankan sekolah. “Apapun keadaannya, jangan sampai menyurutkan semangat belajar,” katanya.
Sejak bangunan sekolah roboh, belum ada usaha dari pemerintah untuk memperbaikinya. “Inginnya sekolahnya diperbaiki, biar tidak kehujanan,” harap Heri. Harapan ini juga menjadi harapan ke-175 murid sekolah ini.
Angin boleh merobohkan bangunan, tapi tidak dengan tekad para murid. “Saya ingin jadi dokter,” kata Dewi.***
“Sejak sekolah rusak sudah tidak pernah upacara lagi. Olah raga juga cuma main tali,” kata Dewi (11), siswa kelas 5. Bagi Dewi dan murid lainnya, yang terpenting adalah bisa tetap belajar di sekolah. “Sedih sekolahnya rusak, tapi kan harus tetap sekolah,” katanya.
Sekolah yang terletak di Kp. Babakan Jampang Desa Cibitung Kec. Rongga Kab. Bandung Barat ini pada awalnya adalah sekolah yang didirikan atas prakarsa masyarakat setempat. “Sekolah yang ada letaknya sangat jauh. Jadi masyarakat meminta didirikan sekolah,” tutur Kuswan (36), salah satu guru yang telah mengabdi selama 13 tahun di SDN 2 Cimarele.
“Saat kami camping memperingati Hari Pramuka, malamnya ada angin besar dan gempa yang menghancurkan sekolah kami,” kata Kuswan. Setelah kejadian itu, murid-murid tidak lagi dapat belajar di dalam kelas. Sebuah lapak seluas 5x20 meter yang terbuat dari kayu dan genteng seadanya menjadi ruang kelas yang baru.
Lima papan tulis dipasang berderet dengan jarak tidak lebih dari 1 meter. Papan tulis itulah yang menjadi batas antara kelas yang satu dan kelas yang lain. “Kelas 1 dan 2 bergantian. Pagi untuk kelas 1, mulai jam 10 baru untuk kelas 2,” kata Neneng, satu dari empat guru yang mengajar di sekolah ini.
Tak ada lantai marmer, tak ada dinding, atap seadanya. Jika hujan datang, atapnya tak sanggup menghalau air yang masuk melalui sela-sela genteng. Baju seragam dan buku pelajaran basah karenanya. “Tapi pelajaran tidak boleh berhenti, apapun keadaannya,” ujar Kuswan. Keadaan ini pula yang membuat siswa lebih nyaman memakai sandal jepit dibandingkan sepatu. “Kalau hujan repot,” kata Neneng.
Sekolah Sejauh mata memandang terlihat perbukitan yang terhampar. Tidak mudah menjangkau sekolah ini. “Tiap hari saya jalan kaki. Ya sekitar 1,5 jam perjalanan,” tutur Kuswan.
Jalanan yang menanjak, berbatu, dan licin tak menyurutkan tekad para guru dan murid untuk berangkat ke sekolah. “Saya senang sekolah. Berangkat pagi-pagi, sambil main-main sama teman-teman,” kata Heri (11), siswa kelas 5.
Kuswan yang belum genap setahun diangkat menjadi CPNS (Calin Pegawai Negeri Sipil) ini menekankan pada murid-muridnya agar selalu mengedepankan sekolah. “Apapun keadaannya, jangan sampai menyurutkan semangat belajar,” katanya.
Sejak bangunan sekolah roboh, belum ada usaha dari pemerintah untuk memperbaikinya. “Inginnya sekolahnya diperbaiki, biar tidak kehujanan,” harap Heri. Harapan ini juga menjadi harapan ke-175 murid sekolah ini.
Angin boleh merobohkan bangunan, tapi tidak dengan tekad para murid. “Saya ingin jadi dokter,” kata Dewi.***
Currently have 0 komentar: