Latest News

Kelom Geulis “Keng”, Tenggelamnya Sang Primadona

Tuesday, May 19, 2009 , Posted by Catur Ratna Wulandari at 8:03 AM

Bukan celana jins ketat atau baju minim yang menjadi resep pesona mojang Bandung tempo dulu. Pada banyak kesempatan, mojang Bandung seringkali mengenakan kain wiron yang dipadu dengan baju kebaya lengkap dengan kelom geulisnya. Di jalanan Kota Bandung, para lelaki saat itu banyak yang terpikat melihat dandanan anggun macam itu. Membuat mereka semakin penasaran melihat paras ayu yang tersembunyi di balik payung kertas buatan Tasik yang berwarna-warni tak kalah cantik dengan si empunya.

Itu dulu, sekitar dekade ‘60-an. Sekarang sudah jadi pakaian langka. Paling-paling hanya dipakai waktu peringatan Hari Kartini atau acara-acara tertentu saja. Mojang Bandung sekarang tentu lebih akrab dengan celana jins daripada kain. Kain identik dengan pakaian yang membatasi gerak.

Begitupun dengan kelom geulis. Masa keemasannya telah berlalu, digantikan dengan sandal plastik atau kulit imitasi yang membanjiri pasaran. Selera pasar perlahan menenggelamkan kelom geulis yang konon berasal dari Tasikmalaya itu.
Namun, jika masih ada yang penasaran atau ingin mencoba mengenakan kelom geulis, datang saja ke Jln. Cihampelas no 205. Bangunan lawas nan sederhana itu seringkali terlewatkan. Maklum, letaknya berada di salah satu kawasan belanja yang populer di kota kembang yang selalu padat dikunjungi wisatawan. Sayangnya, keramaian Cihampelas hanya dipandang sebagai pusat jins dan pakaian jadi buatan Bandung. Padahal di kawasan itu terdapat, warisan budaya yang barangkali tinggal satu-satunya. Kelom geulis “Keng”.

Jumat sore, Bandung sudah mulai padat. Keramaian selalu menyergap di akhir pekan. Tapi, pelataran parkir Kelom Geulis “Keng” tetap sepi. Tidak ada mobil ataupun sepeda motor yang diparkir di sana.

Memasuki bangunan itu, terdapat etalase kaca yang membagi dua ruang toko itu. Menjadi pembatas antara penjual dan pembeli. Separuh dinding di ruangan itu dipasangi rak kayu. Selain di etalase kaca tadi, di rak itu dipajang bermacam-macam kelom geulis “Keng” yang legendaris itu.

Di satu sisi lain, dindingnya dipasangi kaca berukuran besar. Barangkali, pada saat kelom geulis menjadi tren, sudah ratusan bahkan ribuan orang yang mematut diri di depan kaca itu. Mencari kelom geulis “Keng” yang cocok untuk dirinya.
***
Seorang lelaki berbadan tegap keluar dari ruangan lain. Langkahnya pelan. Ia mendekat sambil mengulas senyum. “Yah sekarang asal ada saja. Meskipun sulit, tapi mencoba terus bertahan, jangan sampai kelom geulis ini hilang,” tuturnya.
Nama lelaki itu Yamin Teramurni. Kini usianya 61 tahun. Ia adalah generasi ketiga kelom geulis “Keng”. Usaha ini ia warisi dari sang kakek, Thio Keng Siang yang asal Tasikmalaya.

Menurut Yamin, kakeknya berasal dari golongan Kongku. Yaitu golongan orang Tionghoa yang dipercaya berbakat di bidang perkayuan. Sehingga bisnis yang menggunakan elemen kayu akan membawa keuntungan.
Pada tahun 1942, Keng pindah ke Bandung. Membuka toko kelom geulis di daerah pecinan, tidak jauh dari Toko Kopi Aroma. Selain sebagai toko, di sana juga digunakan untuk tempat berproduksi. Tak tanggung-tanggung, perajin kelom geulisnya mencapai seratus orang. Konon, saking banyaknya permintaan, proses produksi juga dilakukan di Tasikmalaya.

Kelom berasal dari kata kelompen, bahasa Belanda yang berarti sandal kayu. Embel-embel geulis di belakangnya karena kelom ini dihiasi dengan ukiran cantik yang menjadi ciri khasnya. Kebanyakan ukirannya bergambar bunga. Sebagian dicat warna-warni. Tapi ada pula yang diwarna coklat, tidak jauh dari warna asli kayu yang menjadi bahan dasarnya.

Karena perajinnya adalah seorang Tionghoa, maka tidak bisa lepas dari kebudayaan asalnya. Pada mulanya ukiran pada kelom itu banyak mengadopsi kebudayaan Tionghoa. Misalnya dengan memasang ukiran bergambar liong (naga) atau juga bentuk-bentuk yang kerap ditemukan pada ornamen klenteng.

Sedangkan talinya digunakan berbagai macam bahan dan aplikasinya. Seperti bludru yang diaplikasi dengan payet. Ada juga yang terbuat dari kulit. “Tapi apapun bahannya, selalu di dalamnya diselipkan kulit,” ujar Yamin.

Kelomnya sendiri terbuat dari kayu mahoni. Dulu yang digunakan kayu abasia. Tapi sekarang mencari abasia terbilang sulit. Apalgi yang berumur tua. Baru berumur enam tahun sudah ditebangi untuk keperluan industri dan sebagainya. Padahal, untuk membuat kelom sebaiknya kayu tua.

Kayu-kayu juga banyak yang diekspor, sehingga harga di dalam negeri menjadi melambung. Akhirnya, bahan diganti dengan kayu mahoni.
Daya tarik kelom ini bukan hanya bentuknya yang cantik, tetapi juga kenyamanannya. Bahan kayu membuat kaki tidak panas. Bahkan kaki yang pecah-pecah bisa sembuh dengan menggunakan alas kaki kayu ini.

Jaman dulu, pengusaha kelom geulis di Kota Bandung cukup banyak. Setidaknya terdapat tiga toko yang terkenal dengan kelom geulisnya, yaitu Toko Swan, Toko Kabinangkitan dan Keng. Hanya Keng yang hingga hari ini masih buka.

Menurut Yamin, kelom buatan Keng terkenal dengan kualitasnya yang bagus, pembuatannya halus. “Pembeli dijamin puas,” ujar Yamin. Tak heran kalau pada masa kejayaannya, kelom buatan Keng begitu digandrungi. Apalagi, pembeli bisa memilih model ukiran dan tali sesuka hati. Tinggal dipasang saja. Pembeli bisa menunggunya.
***
Kini kelom geulis sudah tidak lagi menjadi primadona. Pembelinya sekarang tinggal orang-orang tua yang sudah terbiasa memakai kelom sejak dulu. Sangat sedikit, bahkan nyaris tidak ada anak muda yang menggunakannya.

Yamin sendiri serba susah. Mau berpromosi, tak ada daya. Yang bisa ia lakukan adalah menjajakan kelom yang saat ini sudah ada. Ia tak lagi berproduksi. Tak ada satu karyawan pun yang membantunya.

Ia juga belum tahu pada siapa usaha itu akan diwariskan. Kedua anaknya kini masih menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi. “Ya harapannya anak saya bisa meneruskan. Kalau lihat sekolahnya di desain, ya semoga nanti bisa membuat model-model baru untuk mengembangkannya,” ujarnya.

Meski gurat-gurat usia mulai memenuhi wajahnya, Yamin bertekad tetap melanjutkan warisan keluarganya. Senyumnya selalu mengembang tat kala pembeli datang, meski pada akhirnya pergi tanpa membeli kelomnya. Ia masih menyimpan harap, suatu saat kelom geulis akan berjaya kembali. (Catur Ratna Wulandari/”PR”)***

*Artikel ini pernah diterbitkan di Harian Pikiran Rakyat

Currently have 2 komentar:

  1. kiky says:

    Masih ada juga yang menyoroti kelom geulis,, hebat2..

  1. Ya kalau bukan kita siapa lagi? :)
    Terimakasih sudah mampir...

Leave a Reply

Post a Comment