Latest News

Terus Ke Mana?

Tuesday, May 19, 2009 , Posted by Catur Ratna Wulandari at 8:00 AM

“Yang namanya Terusan harusnya ya tidak jauh-jauh dari jalan induknya. Ternyata saya salah. Yang namanya Terusan Karang Tineung tidak seperti Terusan Pasteur yang meneruskan Jalan Pasteur atau Terusan Pasir Koja yang melanjutkan Pasir Koja. Terusan Karang Tineung menurut saya lebih tepat sebagai terusan Jalan Suka-Mulya-Sebelah-Sanaan-Setra Sari-dan Sebelah-Sanaan-lagi-Cipedes Tengah-dan-Tidak-Terlalu-Jauh-Dari-Paris-Van-Java-ternyata. Ya memang sih daerah situ-situ juga, paling tidak mungkin satu kecamatan lah. Tapi kalau disebut terusan, ya nyambungnya dari mana? ujung-ujung jalan tersebut kan tidak ketemuan dengan Jalan Karang Tineung. Sudah gitu rumah-rumahnya nomornya tidak urutan pula. Untung rumahnya gede-gede”
Demikian tulis seorang blogger yang menceritakan pengalamannya tersesat saat mencari Jalan Terusan Karang Tineung. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang mempunyai cukup banyak nama jalan yang menggunakan “Terusan”, misalnya saja Jln. Terusan Jakarta, Jln. Terusan Buah Batu, Jln. Terusan Ciliwung, Jln. Terusan Pasir Koja dan sebagainya.
Penggunaan istilah “Terusan” itu berarti jalan tersebut meneruskan jalan sebelumnya. “Jalan itu tidak punya nama, hanya meneruskan jalan yang sebelumnya,” ujar penulis sekaligus kolektor buku Sudarsono Katam, saat ditemui di kediamannya, Jln. Tanjung Kota Bandung, Kamis (29/1).
Ia menjelaskan, jalan-jalan yang menggunakan nama terusan merupakan jalan-jalan baru. Sekitar tahun 1970 banyak dibangun jalan-jalan baru yang bersambung dengan jalan-jalan yang sudah lama. “Masyarakat menyebutnya dengan terusan karena memang meneruskan jalan yang sudah ada. Jadi dia tidak punya nama sendiri,” katanya.
Rupanya meneruskan jalan yang sudah ada menjadi populer. Lebih praktis memang, karena tinggal meneruskan saja. Tapi seiring perkembangan tata kota yang semakin berkembang, jalan semakin panjang. Jalan terusannnya bisa lebih panjang dari jalan induknya. Tidak heran kalau ada anekdot Jalan Terusan Jakarta adalah jalan terpanjang di Kota Bandung karena terusannya saja sudah sedemikian panjang apalagi jalan induknya. Mengapa jalan-jalan tersebut tidak diberi nama sendiri saja?
Planolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Iwan Kustiwan mengatakan, penggunaan terusan sebenarnya tidak menjadi masalah selama memang digunakan untuk meneruskan jalan utama. Namun menjadi persoalan ketika penggunaan terusan justru membuat bingung dan menyulitkan. Apalagi jika jalan terusan ini sangat panjang. “Sebaiknya diberi nama saja, sebab kalau tidak fungsi jalan sebagai penanda akan hilang,” ujarnya.
***
Selain jalan yang tidak bernama, di Kota Bandung juga banyak ditemukan rumah tanpa nomor. Misalnya saja Jalan Kopo nomor 191 belakang. Maksudnya, letak rumah tersebut berada di belakang bangunan nomor 191.
Sudarsono menjelaskan, kesemrawutan nomor rumah sudah terjadi sudah lama. Dahulu, bangunan rumah tidak dibangun bersama-sama. Sehingga penomoran menjadi kacau ketika ada bangunan baru yang muncul di antara bangunan lama yang sudah mempunyai nomor urut. “Tapi itu dulu, sekarang sih sudah lebih rapi. Kalau di pinggir jalan sudah tidak ada nomor yang tidak urut,” katanya.
Lahirnya nomor rumah yang menggunakan istilah “belakang”, menurut Sudarsono, disebabkan karena adanya peningkatan kebutuhan berkomunikasi, utamanya melalui surat. “Jadi untuk memudahkan orang mencapai rumah itu akhirnya ada nomor belakang,” katanya.
Ada juga alamat rumah yang di belakang nomor ditambahi pav atau paviliun. Biasanya digunakan untuk rumah yang terbagi menjadi dua bagian dengan kepemilikan yang berbeda. Sehingga untuk membedakan diberilah tambahan paviliun di belakangnya.
Penomoran rumah yang tidak rapi itu membuat petugas pengantar surat kesulitan. “Cukup menyulitkan kami. Misalnya di Jalan Lingkar Selatan dan Soekarno Hatta. Nomornya ada yang tidak urut. Beberapa jalan juga ada nomor yang dobel. Tapi karena kebiasaan, lama-kelamaan petugas kami jadi hapal,” kata Ahyadi Kosasih, Kepala Bagian Antaran Mail Processing Centre Bandung PT Pos Indonesia.
Menurut Iwan, pengaturan nomor sebaiknya dilakukan sejak awal ketika dikembangkan sebuah kawasan baru. Sehingga sejak awal sudah ada sistem penamaan jalan, penomoran yang lengkap dan sistematis.
“Seringkali penamaan jalan di kawasan baru ketika diintegrasikan dengan jalan yang sudah ada menjadi persoalan karena tidak sesuai. Oleh karenanya dari awal memang harus sudah dipikirkan benar masalah penamaan dan penomoran itu,” tuturnya.
Iwan berpendapat kesemrawutan ini masih bisa dibenahi. Seperti halnya pengaturan jalan yang pernah dilakukan di Arcamanik dan Margahayu yang merubah sistem blok menjadi nama jalan. “Untuk merapikan penomoran, mestinya pemerintah bisa melakukannya secara berkala. Pemerintah bisa memanfaatkan kegiatan sensus penduduk yang dilakukan setiap sepuluh tahun sekali itu,” tuturnya.
Ia menambahkan, penomoran yang rapi akan menguntungkan pemerintah pula. Misalnya dalam hal pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Perhitungannya akan lebih pasti karena persil rumahnya sesuai dengan yang alamat yang tertera.
Sementara itu, Sudarsono Katam mengusulkan agar pemerintah memberi batasan kepada para pengembang perumahan agar tidak memberi nama jalan dengan nama sembarangan. “Banyak pengembang yang memberi nama jalan sesuai dengan nama pengembangnya. Itu jangan boleh. Nama jalan harus diatur, sehingga dia tetap punya zonasi,” katanya. (Catur Ratna Wulandari/”PR”)***

*Artikel ini pernah diterbitkan di Harian Pikiran Rakyat

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Post a Comment