Latest News

Saat Cinta Mempertemukan Jefry dan Nancy

Tuesday, May 19, 2009 , Posted by Catur Ratna Wulandari at 7:52 AM

Pasangan yang sedang dimabuk asmara itu duduk berdampingan. Sesekali saling pandang lalu berpelukan. Beberapa saat kemudian mereka berayun bersama. Owa Jawa berusia sepuluh tahun itu, mulanya tidak saling kenal. Masing-masing terpenjara dalam keegoisan manusia yang mengurungnya di kandang. Setelah berkumpul selama dua tahun, keduanya salingjatuh cinta. Sejak 2006 mereka resmi berpasangan. Kini, keduanya telah menjadi teman hidup yang siap dilepaskan kembali ke habitatnya.
Perjodohan antara Jefry dan Nancy bermula ketika keduanya diserahkan ke Javan Gibbon Centre (JGC), sebuah pusat penyelamatan dan rehabilitasi Owa Jawa yang berkedudukan di Bodogol, Kab. Bogor, bagian dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Jefry sebelumnya dipelihara oleh seseorang di Jakarta. Pada 2003, ia diserahkan pemiliknya ke JGC untuk direhabilitasi. Setahun kemudian, Nancy yang dipelihara oleh keluarga yang berlokasi di Depok turut diserahkan ke JGC.
Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan kondisi fisik, kesehatan, dan perilaku Owa Jawa bekas peliharaan. Saat ini JGC menampung 27 Owa Jawa (14 betina dan 13 jantan) hasil sitaan dan serahan sukarela dari masyarakat.
Selain memulihkan kesehatan dan perilaku, Owa Jawa juga melalui proses perjodohan pada saat rehabilitasi. Owa Jawa yang hidup di alam sebenarnya memiliki kemampuan alami untuk mencari pasangan hidup. Namun bagi Owa Jawa yang sejak kecil dipelihara manusia, mereka kehilangan kemampuan itu. Sehingga untuk mendapatkan pasangan, mereka harus melalui proses perjodohan. “Melepas Owa Jawa ke alam harus berpasangan. Itu hukumnya wajib. Itu yang membedakan Owa Jawa dengan primata yang lain. Jenis lain bisa hidup sendiri di alam, tapi tidak dengan Owa Jawa. Mereka hidup berkeluarga, suami istri dengan dua atau tiga anak,” tutur Anton Ario, manajer JGC.
Menurut Anton, melepas Owa Jawa ke alam tanpa pasangannya sama dengan tidak bertanggung jawab. Ia tidak akan bertahan hidup tanpa pasangannya. Owa Jawa menganut monogami, tidak mudah menemukan dan berganti pasangan. Jika ia dilepas tanpa pasangan, ia juga tidak akan sanggup bereproduksi.
“Menjodohkan Owa itu tantangan tersendiri. Mereka yang hidup sebagai hewan peliharaan biasanya tidak mengenal lawan jenis. Jadi cukup sulit memasangkannya. Ada yang butuh waktu cepat, ada yang butuh waktu sangat lama,” tutur Anton, sang mak comblang. Jefry dan Nancy butuh waktu dua tahun untuk bisa menjadi pasangan. Tapi ada juga yang butuh waktu seminggu.
Tak ubahnya seperti manusia, perjodohan hanya bisa terjadi jika ada kecocokan dan ketertarikan. Karakter masing-masing sangat mempengaruhi. Jika kecocokan itu bisa terjalin, tidak mustahil perjodohan itu bisa terjadi hanya dalam waktu satu minggu. “Seperti Charli dan Dina, seminggu sudah berjodoh. Karena Charli itu sifatnya cool, sedangkan si Dina ini tidak neko-neko. Jadi keduanya pas. Dina itu punya kebiasaan memakan rambutnya sendiri, itu membahayakan bagi kesehatannya. Maka saya pikir, dia harus segera dapat jodoh. Supaya dia punya kesibukan, dan menghentikan kebiasaannya itu. Jadi tepat kalau dia berjodoh dengan Charli,” tutur Anton.
Mengenali sifat dan karakter masing-masing Owa Jawa yang dirawat merupakan keharusan bagi Anton dan empat orang perawat hewan (keeper). Pengenalan penting untuk menentukan pasangan bagi Owa Jawa.
***
Proses perjodohan Jefry dan Nancy diawali dengan proses perkenalan yang berlangsung dalam sebuah kandang. Namun keduanya dipisahkan oleh dua sekat kawat yang membentuk lorong. Untuk mengetahui apakah keduanya mempunyai ketertarikan, maka salah satu sekat itu dibuka sehingga keduanya bisa saling mendekat.
“Mendekat itu belum tentu saling suka juga. Bisa juga benci. Biasanya kalau benci mereka saling serang, menunjukkan kemarahan. Kalau begitu, harus berpikir ulang. Biasanya dengan mengganti pasangannya. Tapi kalau suka, biasanya jari-jemari mereka saling bersentuhan walaupun masih ada satu sekat yang memisahkan,” tutur Anton.
Setelah benih-benih ketertarikan itu tercipta, maka sekat kedua dilepaskan. Maka akan tampak jelas keduanya tengah jatuh cinta. Satu sama lain mengungkapkan perasaannya. Peluk dan cium tak henti-hentinya dilakukan. “Seperti telenovela rasanya, tapi memang begitulah Owa Jawa,” ujar Anton. Ia mengaku tahap perjodohan inilah yang paling sulit dalam seluruh proses rehabilitasi. Dari 27 Owa Jawa, sudah terbentuk 8 pasang, sisanya masih jomblo. Hal ini disebabkan kurangnya pejantan.
Perjodohan pun diusahakan memperhatikan kondisi fisik masing-masing. Misalnya, Owa yang sudah kehilangan taring diusahakan berpasangan dengan yang masih normal. Agar saat dilepas ke alam keduanya masih saling melindungi. “Tapi kalau mereka sudah cocok, meskipun sama-sama tidak punya taring, ya tidak apa-apa. Yang penting mereka sudah cocok,” ujarnya.
Setelah resmi berpasangan, mereka pun melalui hari-harinya bersama-sama. Meski tak terucap dalam bahasa manusia, keduanya berjanji setia. Tidak ada kata mendua dalam kamus Owa Jawa.
***
Setelah kondisi mereka sehat, perilaku sudah sesuai dengan yang diharapkan, dan telah memiliki pasangan, maka mereka siap dilepaskan. Setelah dilepaskan, mereka akan membentuk teritori (semacam daerah kekuasaan) bersama pasangannya.
“Selain menyiapkan Owa nya, juga harus menyiapkan tempat pelepasannya,” ujar Anton. Tempat pelepasan itu harus aman dari perburuan, selain juga memiliki ketersediaan vegetasi yang cukup sebagai makanan bagi mereka. Maka itu, hutan konservasi seperti taman nasional adalah lokasi yang tepat. Diperkirakan pertengahan tahun ini, Owa Jawa yang telah berpasangan akan diuji coba untuk dilepas ke alam.
Setelah dilepas, bukan berarti tanggung jawab telah selesai. Anton mengingatkan pentingnya pemantauan. Pemantauan itu bisa dilakukan melalui berbagai studi mengenai kondisi Owa Jawa pasca pelepasan.
Jefry dan Nancy kini sedang menanti. Menanti babak baru dalam hidup mereka. Menghadapi alam bebas yang menyimpan berbagai ancaman. Di sana mereka menaruh harapan. Harapan untuk melahirkan Jefry dan Nancy kecil. Tugas kita untuk menciptakan rumah yang aman bagi mereka di alam ini. Mencintai mereka tidak berarti harus memiliki. (Catur Ratna Wulandari/”PR”)***

*Artikel ini sudah pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Post a Comment