Latest News

Kenapa Syekh Puji?

Thursday, July 23, 2009 , Posted by Catur Ratna Wulandari at 12:16 AM

Kamis, 23 Juli 2009 02.15 WIB
Sedang menonton Reportase Malam Trans TV soal visum Lutfiana Ulfa, istri muda Syekh Puji


Aku tidak paham, kenapa polisi getol mengusut kasus Syekh Puji yang menikahi bocah di bawah umur. Padahal kasus serupa juga banyak terjadi di daerah lain. Tapi toh reaksinya tidak serupa. Di Madura ada kakek yang dengan bangga memperkenalkan 10 istrinya. Sebagian juga dinikahi saat masih kanak-kanak. Meski sudah diekspos media, toh polisi tidak lantas mengusutnya. Ya barangkali sudah terlanjur, jadi hoream mau mengusut.

Parahnya, kasus Syekh Puji lebih kental mengupas sensasi miliuner nyentrik itu ketimbang menjelentrehkan kenapa kasus ini dianggap penting untuk dituntaskan. Seingat saya, hanya Kompas yang tidak tertarik dengan berbagai sensasi yang dibuat Syekh Puji.

Aku juga tidak paham apa yang dibela dari kasus ini. Toh Lutfiana Ulfa, istri belia Syekh Puji sepertinya tak menginginkan pembelaan itu. Dia mengaku bahagia dan mencintai laki-laki yang usianya lebih tua dari usia bapaknya sendiri.

Jika memang benar demikian, maka urusannya hati. Hukum tidak akan cukup bisa menghentikan rasa cinta yang memang bisa menyerang siapa saja, tanpa memandang usia. Hemat saya, biarkan saja! Toh suka sama suka...

Kalau ada yang perlu diusut, menurut saya, jika ada unsur penipuan pada saat proses pernikahan itu. Misalnya pemalsuan surat nikahnya, pemalsuan umur dsb. Tapi pernikahan itu katanya hanya nikah siri. Lalu apa yang dipersoalkan?

Ah kalau saya, saya justru ingin tahu motif pemilihan gadis cilik itu menerima pinangan sang saudagar itu. Menurut tayangan salah satu tv swasta, proses pemilihan istri muda itu dilakukan melalui audisi. Kesimpulan saya, berarti hubungan itu tidak alamiah. Meskipun bisa saja rasa suka itu sudah tumbuh sebelum audisi.

Waktu SD, saya lebih asik main sepeda atau main petak umpet dari pada berpikir menikah. Tapi kenapa justru Ulfa punya keberanian memutuskan untuk menikah? Keberanian itu bahkan baru menghampiri saya sekitar setahun belakangan. Ko bisa?

Apa mungkin karena harta kekayaan Syekh Puji yang membuat tak kuasa menolak tawaran itu? Kalau melihat gaya hidup modern yang semakin konsumtif, bisa jadi memberikan kenginan-keinginan tertentu. Ingin punya hp, ingin naik mobil bagus, beli mainan banyak, pakai baju bagus dsb. Barangkali untuk membuktikannya perlu studi panjang, tentang latar belakang kehidupan keluarga dan masyarakatnya. Kalau membuat liputan semacam ini, wah bisa nggak keburu nih sama dedlen, dewa yg ditakuti jurnalis di jagad raya ini.

Tapi barangkali, perlu ada sebuah misi dibalik pemberitaan. Tidak sekedar melaporkan. Karena justru beritanya berasa hambar, seperti tidak ada ruh yang membuatnya bernyawa. Akhirnya cukup saja dengan berita sensasional itu... Tidak peduli apakah setelah ini masyarakat akan lebih pintar atau tidak. Toh berita apapun yang dibuat akan tetap ditonton bukan?!

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Post a Comment